Kopi hitam panas dengan rasa pekat dengan sedikit
gula, tersuguhkan sembari menghirup lalu menghembuskan asap rokok yang sedari
tadi melingkar melalui mulut-mulut yang acap kali mencomooh, wajahnya pun
selalu bersih tak ada kerutan kedengkian yang menghiasi wajahnya. Matanya yang
bening sayup dan sedikit bulat tersorot jernih bagai telaga yang memancarkan
panorama separuh wajahnya. Bibirnya sedikit tebal bergaris tipis, berwarnah
merah jambu hampir selalu menggerutkan
senyum di kala senyum-senyum lain terbalut kedengkian yang kian di poloskan
dengan sedikit kelicikan.
***
Di zaman yang penuh perkosaan ideology. Zaman yang
penuh bau tubu bercampur mani dengan wangian parfum melatih. perkosaan idealisme
kian menciptakan benih-benih baru yang kelak membahagiakan juga kerap kali
menghancurkan. Di bahu-bahu jalan terlihat ratusan bahkan ribuan nafas-nafas
telah memunafikkan tubuh-tubuh yang baunya bertebaran hingga kemana-mana. Organ-organ
dan kelompok dewasa yang menyembah pada agama dan beronani teks, mengkafirkan
idiologi yang kerap kali di pandang sebagai penyebar aroma yang berbauh alkohol.
Penghakiman terjadi di sana-sini. Ras manusia melawan ras manusia, agama
melawan agama, idiologi melawan idiologi, dan politik melawan politik. Banyak
yang terluka, bahkan nyawa telah di gantungkan pada tiang-tiang kematian di
penghujung jalan pulang.
***
Kopi hitam tetap pada peraduannya, Sebatang rokok tak
lagi melingkar dalam cemooh, sedang wajah dan senyumnya tak lagi dapat dipandang
dengan indahnya yang selalu menimbulkan rangsangan, sengitan, dan tak ada lagi
mata sayup yang jernihnya bagai telaga, yang dapat melihat hitamnya warna kopi.
***
Penghakiman terjadi lagi, menyisahkan bau bangkai yang
dikerumuni lalat dan belatung, tidak ada bedanya di hakimi dan yang menghakimi,
darah yang berkeliaran di bahu jalanan meninggalkan kisah yang kemengannya sebatas
ilusi dan hanya menjadi lelucon. Dewasanya kini hanya simbolisasi pecundangan
di penghujung jalan kematiannya. Ideologi yang semakin membunuh dan
menelanjangi tubuhnya yang terselimuti pedoman-pedoman suci, “mereka menyebut dirinya sebagai kesucian.”
Namun bagaimana dengan ideologi dan idealisme yang telah ternodai dengan kemunafikkan
dan rekaan? Lagi-lagi langit yang ikut memandangi telah mengamini
***
Matanya yang tak lagi jernih, di lingkri
kerutan-kerutan yang telah menjadi saksi penghakiman ribuan nafas-nafas
ideologi yang ternodai, Bibirnya sedikit tebal
bergaris tipis kini tak lagi berwarnah merah jambu, melainkan hitam pekat. Keyakinan
yang menyucikan dirinya adalah pembunuh yang sesungguhnya. Namun hitam kopi
dengan pekatnya masih saja tersajikan dengan peraduannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar