Minggu, 10 April 2016

“Berbeda Bukan Berarti Bebas Menghakimi”


Kopi hitam panas dengan rasa pekat dengan sedikit gula, tersuguhkan sembari menghirup lalu menghembuskan asap rokok yang sedari tadi melingkar melalui mulut-mulut yang acap kali mencomooh, wajahnya pun selalu bersih tak ada kerutan kedengkian yang menghiasi wajahnya. Matanya yang bening sayup dan sedikit bulat tersorot jernih bagai telaga yang memancarkan panorama separuh wajahnya. Bibirnya sedikit tebal bergaris tipis, berwarnah merah jambu hampir selalu  menggerutkan senyum di kala senyum-senyum lain terbalut kedengkian yang kian di poloskan dengan sedikit kelicikan.
***
Di zaman yang penuh perkosaan ideology. Zaman yang penuh bau tubu bercampur mani dengan wangian parfum melatih. perkosaan idealisme kian menciptakan benih-benih baru yang kelak membahagiakan juga kerap kali menghancurkan. Di bahu-bahu jalan terlihat ratusan bahkan ribuan nafas-nafas telah memunafikkan tubuh-tubuh yang baunya bertebaran hingga kemana-mana. Organ-organ dan kelompok dewasa yang menyembah pada agama dan beronani teks, mengkafirkan idiologi yang kerap kali di pandang sebagai penyebar aroma yang berbauh alkohol. Penghakiman terjadi di sana-sini. Ras manusia melawan ras manusia, agama melawan agama, idiologi melawan idiologi, dan politik melawan politik. Banyak yang terluka, bahkan nyawa telah di gantungkan pada tiang-tiang kematian di penghujung jalan pulang.
***
Kopi hitam tetap pada peraduannya, Sebatang rokok tak lagi melingkar dalam cemooh, sedang wajah dan senyumnya tak lagi dapat dipandang dengan indahnya yang selalu menimbulkan rangsangan, sengitan, dan tak ada lagi mata sayup yang jernihnya bagai telaga, yang dapat melihat hitamnya warna kopi.
                                                        ***
Penghakiman terjadi lagi, menyisahkan bau bangkai yang dikerumuni lalat dan belatung, tidak ada bedanya di hakimi dan yang menghakimi, darah yang berkeliaran di bahu jalanan meninggalkan kisah yang kemengannya sebatas ilusi dan hanya menjadi lelucon. Dewasanya kini hanya simbolisasi pecundangan di penghujung jalan kematiannya. Ideologi yang semakin membunuh dan menelanjangi tubuhnya yang terselimuti pedoman-pedoman suci, “mereka menyebut dirinya sebagai kesucian.” Namun bagaimana dengan ideologi dan idealisme yang telah ternodai dengan kemunafikkan dan rekaan? Lagi-lagi langit yang ikut memandangi telah mengamini
***
Matanya yang tak lagi jernih, di lingkri kerutan-kerutan yang telah menjadi saksi penghakiman ribuan nafas-nafas ideologi yang ternodai, Bibirnya sedikit tebal bergaris tipis kini tak lagi berwarnah merah jambu, melainkan hitam pekat. Keyakinan yang menyucikan dirinya adalah pembunuh yang sesungguhnya. Namun hitam kopi dengan pekatnya masih saja tersajikan dengan peraduannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar